Rabu, 23 Maret 2016

Sesungguhnya Sesudah Kesusahan Itu Ada Kemudahan



Kurang lebih 5 bulan yang lalu ku habiskan sebagian besar waktu ku bersama para sahabat.  Saat luang, libur karena asap, aku benar-benar bermalas-malasan, memborong banyak film, dan menguras paket internet sampai habis.
Namun tak hanya itu, ada waktu nya untuk benar-benar focus. Jika pada waktu luang benar-benar kumanfaatkan untuk bersenang-senang, maka pada masa-masa sibuk, banyak tugas dan persiapan ujian akupun benar-benar harus focus. Tak ada candaan dan hanya sedikit senyuman. Aku sangat tau bahwa hal seperti itu adalah cara belajar yang salah, harusnya tak ada bermalas-malasan. Waktu luang tetap belajar dengan santai dan tetap bersenang-senang, saat banyak tugas sempatkan juga untuk bercanda dan sedikit bersenang-senang.
Namun yang ku terapkan sangat berbeda, beberapa hari sebelum ujian, siang malam aku mulai terpaku didepan layar computer sampai mata letih dan berair, benar-benar menguras otak sampai pusing bahkan mual, tak ada obrolan renyah seperti biasanya, bisa dikatakan hampir hilang selera untuk bercanda.
Bergadang adalah hal yang biasa ku lakukan, tidur tak lagi nyenyak, bangun tidur jam 5 pagi, shalat, kemudian larut kembali di tengah kepungan buku yang berserakan. Aku harus mengejar ketertinggalan, jika beberapa bulan yang lalu aku bersantai, maka aku harus membayar waktu yang ku habiskan tersebut dengan menguras tenaga, belajar keras. Jika tidak, maka nilai yang benar-benar buruk itu akan menghampiriku dengan senang hati.
“Aku harus bertanggung jawab atas waktu yang ku sia-sia kan”
            Ada saatnya benar-benar muak dan lelah, namun satu hal yang sering ku ucapkan saat mulut ini mulai bergetar ingin ucapkan kata malas,
            “Kalau malas belajar, Jangan kuliah. Kalau tak ingin belajar, tak usah kuliah”
            Kalau ingin tetap kuliah, maka teruslah belajar.
Masih ku ingat malam itu, selepas shalat Isya, aku kembali melanjutkan bacaan ku yang sudah ku baca dari pagi. Belum sampai 1 jam mata ku mulai perih, kepala ku terasa berat, dan isi buku yang ku baca tak kunjung lengket di kepala. Di saat seperti itu, rasanya yang ku inginkan adalah berteriak sekencang-kencangnya. Namun ku urungkan niat itu, aku berlari kekamar mandi. Ku hidupkan air kran dan menangis sejadi-jadinya, di sana ku tumpahkan kekesalan, rasa muak dan amarahku.
Paginya aku sampai di kelas dengan mata mengantuk, kuambil kursi paling depan,  dan lagi-lagi ku paksa mata ku untuk membaca, ku paksa lagi otakku untuk mengerti, berusaha focus belajar di tengah  tawa riang temen sekelas yang saat itu terdengar samar di telinga ku,
“Li, tak usahlah serius kali, nanti dapat IP 4,50 pulak lho”  seloroh salah satu di antara mereka dengan logat bataknya.
Dengan terpaksa ku alihkan pandanganku dari buku yang ku baca, kemudian tersenyum singkat. Ku edarkan pandanganku, tak banyak yang menarik perhatian. Mata ku terhenti pada sosok yang sedang asyik dengan dunianya, seperti biasa ia duduk di kursi paling tepi, di barisan terdepan. Sibuk membaca buku, sesekali ku lihat ia berkomat-kamit mulai menghafal. Ia adalah peraih IP tertinggi dikelasku, bisa dikatakan jujur dalam ujian, rajin dan aktif di kelas. “Sungguh teman sekelas yang mengagumkan” batin ku saat itu.
Pernah ada yang protes dengan cara belajarku yang keterlaluan. Saat itu ujian lisan pada mata kuliah Hukum Pidana, hanya sekitar 4 mahasiswa saja yang berada di dalam kelas dan ujian, selebihnya berada diluar menunggu giliran. Saat teman-teman yang lain memanfaatkan waktu yang sedikit tersebut untuk bercerita, bercanda dan sesekali tanya jawab mengenai materi ujian. Maka aku tetap berbaur dengan mereka, namun tak ada obrolan dan aku malah sibuk sendiri dengan bacaan ku.
“li kok belajarnya gitu amat, sering saya perhatikan kalau mau ujian gini pasti sibuk sendiri, pucat, kurang tidur” tanyanya dengan heran
“aku gak puas kalau aku belum baca semua materi, rasanya tetap ada yang kurang. biar gimana pun aku tetap harus bisa menjawab semua soal ujian” jawab ku sambil tertawa.
“cara belajar kayak gitu gak bagus lho, membacanya dari jauh-jauh hari dong, sebelum ujian di baca lagi, dan jangan terlalu di paksain juga”
Begitu percakapan yang terjadi di antara kami.
Tak berselang lama pak Azwar Aziz SH, MSi sudah berada di bangku dosen, beberapa menit kemudian Ujian Filsafat Hukum pun di mulai. Saat belajar seperti biasa, maupun saat ujian, bangku terdepan sudah menjadi langgananku. Tanpa aba-aba tangan ku mulai menari lincah di kertas jawaban, sesekali terhenti dan berfikir keras mengingat isi buku dan E-book yang ku baca hampir semalaman. Suasana kelas hening, terkadang terdengar bisik-nisik teman sekelas ku yang mulai sibuk berdiskusi dan bekerjasama menjawab soal ujian, ada juga yang sibuk dengan contekannya. Hanya beberapa saja di antara kami yang berani jujur.
Terkadang aku menggerutu dalam hati, “wajar saja nilai si A tinggi, dia begini, begitu dan begini” . “ ah.. sudahlah, orang yang jujur tetaplah akan menjadi pemenang yang sesungguhnya” batinku lagi.
                                                            ***
            5 bulan telah terlewati, tiba waktunya menanti hasil perjuangan dan meikmati masa libur kuliah. Libur kuliah yang di berikan sekitar 1 bulan. Kuniatkan dalam hati untuk menghabiskan 1 bulanku dengan keluarga tercinta, istirahat dari kepenatan kuliah, ciptakan banyak senyuman, dan berbagi kebahagiaan.
            Sudah beberapa hari ku nikmati hari libur ku di kampung halaman, teman sekelas mengabari bahwa beberapa nilai sudah keluar. Meski nilai yang keluar baru beberapa mata kuliah saja, namun hasilnya cukup membayar kerja keras dan air mata kekesalanku. Ku dengar nilai si A juga cukup bagus, tentu saja aku merasa sedikit kesal.
            Maka hari itu, ku coba kembali menasehati dan memotivasi diriku.
            “tak perlu kecewa jika nilaimu tak lebih tinggi dari mereka, karna capaian terbaikmu adalah proses yang kau lalui dengan kerja keras dan kejujuran , bukan nilai tinggi namun penuh dengan kecurangan” begitu kata-kata yang ku posting di fb hari itu.
            Beberapa  hari kemudian, hampir semua nilai sudah keluar, hanya menunggu 2 mata kuliah lagi saja, dan dapat ku prediksi bahwa nilaiku tetap mengalami peningkatan lagi seperti semester sebelumnya. Alhamdulillah, ternyata benar “siapa yang menanam, dia yang akan menuai” dan “sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”.  “semester besok, berusaha untuk merubah cara belajar, agar hidup lebih baik, kesehatan membaik, dan nilai lebih baik”
Namun tak ada hidup  didunia ini tanpa cobaan. kamis 28 januari aku menghadiri sebuah acara yang di khususkan bagi kelas 12, di SMA tempat aku bersekolah dulu. Aku menjadi salah satu motivator dalam acara tersebut. Acara selesai di selenggarakan sekita pukul 12.30 wib, di saat aku keluar dari ruangan,  mata ku tiba-tiba terasa sakit terkena sinar matahari yang terang dan kepalaku sakit dan terasa berat. Hal seperti itu memang sudah biasa ku alami sebelumnya. Lebih-lebih lagi saat dikampus. Namun kali ini sakit kepala ku tetap berlanjut ,di tambah rasa mual yang berkepanjangan. Kepala ku akan sakit dan mual saat menatap layar computer dan saat keluar rumah. Jadilah ku habiskan banyak waktuku dengan berkurung didalam rumah.
“kepala ku sakit, mual, dan mata ku sakit karna sinar matahari yang terlalu terang” cerita ku pada ibu.
“ah, itu hanya pusing biasa” katanya sambil berlalu.
Masih ku ingat 6 bulan yang lalu, juga saat libur kuliah seperti ini. Pernah kepala ku sangat sakit, pusing dan aku jatuh tak sadarkan diri. Tapi apa yang bisa ku perbuat. Ku ceritakan pada ibu, namun ia hanya diam.
Untuk kedua kalinya ku putuskan untuk menceritakan lagi keluh kesah ku pada ibu, namun tetap sama ia hanya diam dan berlalu. Sudah 3 hari kepala ku tetap sakit, perut mual, pandangan kabur, dan badan terasa lemah. Yang kulakukan hanya menangis, sampai-sampai malam itu ku habiskan waktu beberapa jam untuk menangis, hanya itu cara ku untuk tumpahkan rasa marah dan kecewaku.
Malam itu ditengah gerimis
gumpalan awan kelabu menari dipelupuk mata.
terbiasa sendiri, membuatku lebih suka bicara tanpa suara.
takut kecewa, takut tak di dengar, membuatku cenderung menarik diri
dan tak mudah memberi hati.
Di tengah rasa marah dan kecewa, tiba-tiba aku teringat pada kata-kata yang ku ucapkan saat menjadi pengisi acara pada acara beberapa waktu yang lalu, “cobaan itu pasti akan datang menghampiri jalanmu, yang perlu kau lakukan adalah berusaha bangkit dan bersabar”
Jika aku mampu berdiri di hadapan banyak orang, berceloteh menyampaikan beberapa penggal nasehat dengan maksud memberikan motivasi. bukankah sangat memalukan jika aku tak mampu menasehati dan memotivasi diri sendiri????
Maka hari ini, kembali ku nasehati diriku, kembali ku motivasi diriku.




Pasaman Barat, Sumbar
Kamis, 04 Februari  2016
10:18