Senin, 29 Januari 2018

Semester 8

Semester tua adalah semester yang tidak mudah untuk di jalani. Bagaimana tidak, saat itu adalah saat-saat dimana ada banyak pertanyaan dan beban yang menumpuk di kepala. Tentang judul penelitian yang tak kunjung diterima, atau masalah penelitian yang tidak begitu jelas di mata pembimbing, planning tentang tenggang waktu kelulusan yang tertempel di dinding kos.

Saat itu masih sangat pagi, kabar bahwa judul penelitianku sudah diterima sampai ke telingaku, namun hal itu belumlah mampu membuatku tersenyum amat lebar. Karena aku tahu setelahnya aku akan bertemu pembimbing yang tak dapat ku prediksi pemikirannya dan bisa saja pemikiranku dan pemikirannya sangat berbeda dan samasekali tak sejalan.
Benar saja, aku dipertemukan dengan sosok yang tak kunjung merasa puas dengan proposalku, lembar-lembar yang ku tulis dengan setengah menangis telah ia coret tanpa ampun. Ku perbaiki, dicoret lagi. Ku perbaiki, salah lagi. Begitu berulangkali, ada saja yang membuatnya merasa tidak puas, perasaan marah dan kesal tidak dapat ku hindari. Bahkan, aku telah menghujatnya dalam hati.

Apa aku berhenti saja? Pertanyaan itu melintas begitu saja di kepalaku. Maksudku bukan berhenti kuliah, tapi berhenti dengan judul ku saat itu dan mulai mencari yang baru, dengan harapan aku tak akan bertemu dengan pembimbing yang sama.

Aku terlalu lelah, masa liburan yang ku korbankan rasanya telah hilang sia-sia. Semester ini aku memang memutuskan untuk tidak pulang kampung, aku ingin menghabiskan waktu libur kuliah dengan tetap berjuang mengunjungi kampus. Namun lihatlah hasil yang ku dapat.

Aku telah memikirkan ide untuk menukar judul penelitian itu berulang-ulang. Ada banyak pro kontra yang berperang di kepalaku. Rasanya untuk sampai di tahap ini pun bukan perjalanan yang mudah, sangat di sayangkan jika aku merelakan hasil perjuanganku sia-sia begitu saja. Lagipula untuk mencapai kesuksesan kita mesti berjuang habis-habisan. Untuk menjadi luar biasa dan membanggakan bukanlah perkara yang mudah.

Setelah sekian lama berkecimpung pemikiranku sendiri, aku sampai pada satu kesimpulan, "aku tak boleh menyerah". Ah, masa segitu saja keberanian dan kekuatanku dalam berjuang. Padahal aku telah bertekad untuk meraih sarjana sedini mungkin. Yang lain bisa, masa aku tidak.

Senyum kemenangan terbit di bibirku, aku menang melawan ketakutan. Aku menang melawan pesimis yang melandaku. Aku menang kali ini. Aku akan kembali berjuang. InsyaAllah wisuda di 2018. Aamiin.

Selasa, 18 Juli 2017

Aku dan Cinta

Sore itu di jendela bus putih yang agak tua, sumpek, dan ribut dg fasilitas seadanya.
Ku biar kan angin sore menerpa wajah ku, juga sinar matahari sesekali memaksa ku memicingkan mata.
Sore itu hati ku terbawa jauh menuju kampung tercinta. Biar desau angin merayu ku agar terlelap, menikmati harum hamparan hijau di sepanjang jalan. Tetap saja hati ku terbawa, jauh menuju dia yang ku sebut cinta.
Di hati telah tersusun kalimat penuh bunga, namun tak berdaya aku ungkapkan.
Biarlah sang angin yang memeluknya, pun telah aku ceritakan rasa rindu ku. Moga tak lupa jua ia sampaikan.

"Salam rindu ku untuk nya"

Selasa, 17 Januari 2017

si WOW di Jurusan Hukum

       Si "WoW" ini biasa nya terdengar saat pertama kali bertemu atau berkenalan. Saling bertanya nama, alamat, kemudian pekerjaan.
Tentu saja saat di tanya mengenai pekerjaan saya yang berstatus mahasiswa akan menjawab seadanya "saya seorang mahasiswa dan belum bekerja"
Jika sudah sampai pada tahap itu biasanya akan timbul pertanyaan selanjutnya
"Jurusan apa?" arrgh ini yang selalu membuat saya malas. Karena sudah terlalu sering mendengar kata 'wow' itu. Di angkot, di bus, saat berkenalan di kampus, seringkali Wow wow dan WOW. Bukan nya merasa sangat bangga, saya malah merasa kecewa dengan diri saya yang sebetulnya tak sehebat yang mereka kira.
        Hal seperti ini juga terjadi pagi ini, saat menemani ibu tercinta ke pasar. Saya 'menyempatkan' diri mampir di pondok sate.
Saat menunggu pesanan datang terjadi lah perbincangan singkat antara saya dan si ibu tukang sate yg manis itu.
"Jurusan apa?" pertanyaan itu akhirnya muncul juga.
"Ilmu Hukum buk" jawab ku kalem, diam-diam aku menebak reaksi selanjutnya.
"Hukum??? Wooaaaah hebat ya" jawab nya dengan wajah antusias.
(Hahaha yes tebakan ku benar 😂)
Aku hanya tersenyum, sambil berceloteh dalam hati:
        Ada apa dengan jurusan Hukum, bergengsi? Hebat? Berwibawa? Menjamin masa depan yang bagus?
Pun setiap jurusan sama hebat nya, hebat di bidang nya masing-masing. Bayangkan jika jurusan Pertanian, Perternakan, Jurnalistik dan lain sebagai nya tidak ada. Hewan-hewan ternak kurus-kurus dan tak terurus karna kurang nya ilmu tentang ternak, hasil tani tak mencukupi kebutuhan dikarenakan ilmu tentang pertanian tidak ada dan para petani tidak tau harus memakai pupuk apa. Bayangkan juga saat informasi sangat sukar di dapatkan. Di saat seperti ini seorang lawyer handal pun menjadi tak begitu Wow.
Jangan kira para mahasiwa hukum ini pintar dan hebat semua. Banyak juga yang masih tergagap saat di tanya 'pengertian ilmu hukum itu apa'. Ada juga yang bisa nya hanya cengar-cengir saat di tanya apa perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata.
Namun sayang nya, sederat kata singkat di atas tak sempat ku sampaikan pada si ibu tukang sate. Bukan tak beralasan, di hadapan ku telah terhidang sepiring sate yang menggoda yang ingin segera di santap tanpa kata nanti.

Sabtu, 07 Januari 2017

Coretan ku

Di mana tugas menumpuk, jadwal ujian padat, kepala mulai sakit, di situ selera menggambar ku kambuh 😂

Pecinta bodoh 2

Jalanan menggigil di basuh hujan malam
Kaki telanjang memerah berlumur lumpur
Berembun nafas tersengal
Matanya sayu memerah dan sarat akan lelah yg membuncah
Sehelai kertas jatuh
Disana sederet ungkapan rindu dapat ku lihat
Ku perhatikan bibir biru nya komat kamit hafalkan puisi cinta
Sampai ia berdiri di hadapan sosok berwajah rindu
Lalu terpana terdiam
Entah mengontrol irama jantung yg berpuisi
Aku tak tau
Tangannya bergetar
Entah apa yg ia pikir
Kaki nya ragu namun maju selangkah kemudian berucap lirih seperti kemarin.
Ia hanya bertanya kabar.
Ya. Hanya itu
Tidak lebih..
Lalu berbalik arah
Menangis, mengadu pada hujan.
Malam nya kembali sendu.

Rindu (puisi)

Maaf kan daku
Pada kata aku berhianat
Menyembelih janji janji
Ku peras darah nya sampai tak bersisa.

Di hujung jalan aku bersimpuh
Berteriak meraungi rindu
Kata-kata bijak di kayu bisu tak berwibawa lagi di mata ku.

Tajam ilalang rasa merayu
Ku tempuh ku pijak
Biar sakit sungguh tak tanggung2
Agar terbuka mata ku, lalu ku koyak wajah rindu.

Pecinta bodoh

Karna kita bercerita dg mesra
Hati ku terbawa
Meski tak ku hidangkan cangkir mengepul
Kita telah melanglang buana
Dari pulau sumatera sampai bali yang indah katanya
Kita terpikal bicarakan janji-janji para politikus
Bercerita kebodohan para pecinta dari zaman siti nurbaya sampai zaman kita

Tangan ku terangkat, menari kan cerita agar kau tertawa
Mata mu menyipit kening berkerut.
Oh ada apa kah gerangan?
Ku suguhkan puisi agar kau terkesima
Belum usai kata-kata ku
Kau menghilang bagai kepul asap
Itu lah yang ku kesalkan

Bagaimana aku akan beranjak dari kursi ku yang usang, hati ku tlah terbawa
Jika saja tawa kita telah usai dengan kerelaan tanpa paksa
Kan ku suguh kan kau secangkir kopi kepulkan aroma pagi.
Di hadapan mu tangan ku akan kembali menulis puisi cinta
Agar kau tau aku lah pecinta bodoh di zaman ini
Dan bodoh nya lagi, kini dengan sendiri ku lanjutkan bercerita
maksud ku menyudahi tawa yang belum usai.